Fenomena "Money Politic" Pada Kompetisi Pemilihan Umum -->

Fenomena "Money Politic" Pada Kompetisi Pemilihan Umum

Senin, 21 Maret 2022, Maret 21, 2022




RADAR SULSEL.CO.ID, WAJO - Pada negara demokrasi dikenal istilah pemilihan umum (pemilu). Di Indonesia pemilu dilaksanakan setiap lima tahun sekali (satu periode) yang mencakup pemilihan presiden (pilpres), pemilihan kepala daerah (pilkada), dan pemilihan legislatif (pileg) yang proses penyelenggaraannya (pelaksanaan dan pengawasan) telah diatur dalam Undang Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum.

Demokrasi adalah pemerintahan oleh rakyat dan untuk rakyat. Yang melaksanakan kekuasaan negara ialah wakil wakil rakyat yang terpilih.  Dimana rakyat telah yakin, bahwa segala kehendak dan kepentingannya akan diperhatikan di dalam melaksanakan kekuasaan negara (Hans Kelsen). Untuk melaksanakan kekuasaan negara, seorang pemimpin/wakil rakyat haruslah mampu menginternalisasi dan mengaktualisasikan nilai nilai integritas maupun kompetensi di dalam kepemimpinannya. Menurut Andreas Harefa, integritas merupakan tiga kunci yang bisa diamati, yakni menunjukkan kejujuran, memenuhi komitmen, dan mengerjakan sesuatu dengan konsisten sementara kompetensi adalah kemampuan individu untuk melaksanakan suatu pekerjaan dengan benar dan memiliki keunggulan yang didasarkan pada hal hal yang menyangkut pengetahuan, keahlian, dan sikap (Emron, Yohny, Imas, 2017, P.140).

Salah satu faktor yang merusak ataupun menciderai tatanan dalam berdemokrasi adalah politik uang (money politic). Menurut Juliansyah (2017), politik uang adalah suatu upaya mempengaruhi orang lain dengan menggunakan imbalan materi  atau dapat juga diartikan jual beli suara pada proses politik dan kekuasaan dan tindakan membagi bagikan uang baik milik pribadi atau partai untuk mempengaruhi suara pemilih (voters). Praktik ini dengan sendirinya akan efektif ketika ada "penerima" (masyarakat selaku konstituen) dan "pemberi" (partai politik melalui kandidatnya). 

Dalam Jurnal of Social Politics and Governance (JSPG) "Politik Uang dalam Demokrasi di Indonesia" (studi kasus Pemilukada Kabupaten Enrekang Tahun 2018) oleh ; Hardianto Hawing, Nursaleh Hartaman, 2021. Di beberapa wilayah, politik uang menjadi faktor utama menentukan pilihan. Hasil dari uji pengaruh variabel politik uang terhadap prilaku pemilih sebesar 0,429 dengan nilai signifikansi (sig) => 0,05 dengan nilai koefisien sebesar 0,261 atau 26,1%. Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) mengadakan survei tentang  Pemilu 2019 dan Demokrasi di Indonesia, menyatakan bahwa terdapat 47,4% masyarakat membenarkan adanya politik uang yang terjadi dalam Pemilu Serentak 2019, dan 46,7% menganggap politik uang tersebut sebagai hal yang dapat dimaklumi (Komite Independen Sadar Pemilu, 2019). Dilansir dari www.rumahpemilu.org, menurut Burhanuddin dkk, 2019, jumlah pemilih yang terlibat politik uang dalam pemilu 2019 di kisaran 19,4% hingga 33,1%. Kisaran politik uang ini sangat tinggi menurut standar internasional dan menempatkan Indonesia sebagai negara dengan peringkat politik uang terbesar nomor tiga sedunia.

Fenomena diatas menunjukkan bahwa sesungguhnya politik uang sudah menjadi hal yang lumrah di tengah tengah kehidupan masyarakat. Praktik ini telah menjadi konsumsi publik yang begitu familiar di telinga kita dan selalu menjadi perbincangan hangat di warung warung kopi (trending topic) ketika memasuki tahun politik. Manakala individu atau tokoh muncul di "permukaan" sebagai calon kontestan pemilu, hal mendasar yang menjadi perbincangan adalah seberapa besar ketersediaan "MONEY" yang dimiliki si calon kandidat tersebut. Al hasil nilai nilai integritas maupun kompetensi hanya menjadi "sajian pelengkap" semata bukan lagi menjadi "sajian utama" dalam proses pencarian/penentuan figur figur kepemimpinan. James Pollock (1920) menyatakan, relasi antara uang dan politik akan terus menjadi persoalan besar dalam demokrasi dan pemerintahan.

"Money politic" seolah olah sudah mendominasi perpolitikan di negeri kita. Begitu kuatnya praktik ini hingga sedikit demi sedikit dapat menggerus/menggeser nilai nilai integritas maupun kompetensi yang sejatinya dijadikan "Benchmark" dalam memilih pemimpin/wakil rakyat (eksekutif dan legislatif). Siapa sebenarnya yang keliru dalam hal ini, apakah masyarakat (awam) selaku pemilih yang sudah berfikir pragmatis ataupun bersikap apatis terhadap proses berdemokrasi itu sendiri sehingga menempuh langkah "pembiaran" terhadap "money politic" sebagai bentuk ekspresi ketidakpercayaan (crisis of trust) terhadap pemimpin/wakil rakyat yang terpilih akibat janji janji politik yang tidak terealisasi lalu kemudian membentuk kelompok "pro money politic" dengan memunculkan jargon jargon politik "ADA UANG, ADA SUARA", ataupun "DISINI MENERIMA SERANGAN FAJAR", ataukah para elite politik melakukan "pembiaran" politik uang agar partisipasi pemilih tinggi dalam menggunakan hak pilihnya sehingga hasil pemilu dinilai berkualitas di mata rakyat (kamuflase demokrasi politik) sebagai upaya meredam gerakan kelompok golongan putih (golput) yang tidak menggunakan hak pilihnya akibat "crisis of trust" terhadap kandidat pemilu yang dianggap tidak mampu merepresentasikan kepentingan mereka, dan ataukah partai partai politik (parpol) selaku pengusung kandidat lebih mengedepankan ego sentris politik sehingga semuanya dapat dilakukan secara praktis ataupun instan demi meraih suara/kursi terbanyak dengan melakukan politik uang. Partai politik selaku pengusung kandidat semestinya dapat menyuguhkan kepada masyarakat (konstituen), calon calon atau kandidat unggul yang berintegritas dan berkompeten sehingga siapapun pilihan rakyat yang terpilih menjadi pemimpin/wakil rakyat baik di eksekutif maupun di legislatif merupakan orang orang "pilihan" yang mampu meningkatkan taraf hidup (kesejahteraan) masyarakat. Namun tidaklah elok jika kemudian kita saling menyalahkan dalam hal ini, namun juga kita sebagai "motor demokrasi" tidak boleh berdiam diri, berpangku tangan menanti keajaiban praktik ini akan sirna dengan sendirinya.

Politik uang adalah salah satu faktor penyebab demokrasi berbiaya tinggi (Dwipayana, 2009). Ketika demokrasi berbiaya tinggi maka regulasi ataupun kebijakan yang dikeluarkan oleh eksekutif atas persetujuan legislatif cenderung lebih berpihak kepada kepentingan parpol pengusung ataupun "political supporters" (kepentingan kelompok). Hal ini dilakukan sebagai bentuk "quid pro quo" akibat adanya politik transaksional/politik uang sehingga praktis kegiatan maupun program yang menyangkut kepentingan masyarakat umum (pro rakyat) tidak dapat dilaksanakan secara optimal oleh karena berkurangnya kapasitas pemerintah/wakil rakyat dalam menegakkan regulasi ataupun kebijakan sehingga pemerintahan kurang representatif dan akuntabel yang mengakibatkan terjadinya praktik praktik KKN (Korupsi, Nepotisme, dan Kolusi). Kondisi demikian perlahan namun pasti akan menggerogoti tatanan demokrasi kita di Indonesia (menurunkan kualitas pemerintah dan demokrasi).  

Edukasi politik seyogyanya dapat ditumbuhkembangkan ditengah tengah masyarakat (awam) guna meminimalisir politik uang. Stakeholder yang terkait semestinya dapat berkontribusi positif dalam menyukseskan pemilu yang bermartabat meskipun dengan cara cara  yang sederhana, semisal "memasyarakatkan" jargon anti politik uang seperti "TOLAK POLITIK UANG" ataupun dengan cara cara sederhana lainnya. Organisasi kepemudaan, organisasi alumni pelajar/kemahasiswaan, organisasi kemasyarakatan,  NGO (non governmental organization), media massa atau Pers, badan kesatuan bangsa dan politik (Kesbangpol), pemuka agama, tokoh masyarakat, maupun para akademisi melalui dunia kampusnya dapat berperan aktif dalam mengedukasi masyarakat (politik dalam pemikiran non politik praktis) dalam hal bagaimana memilih pemimpin/wakil rakyat secara demokratis sehingga masyarakat (awam) selaku konstituen tidak akan mudah menerima pemberian dalam bentuk apapun dari kandidat pemilu yang melakukan politik uang untuk mempengaruhi suara pemilih (voters). Dan yang paling diharapkan dalam "memutus mata rantai" praktik ini adalah komisi pemilihan umum (KPU) dan badan pengawas pemilu (Bawaslu) sebagai satu kesatuan yang utuh yang diberi tugas dan wewenang oleh negara selaku penyelenggara (pelaksana dan pengawas) pemilu. Ketika semua pihak pihak yang terkait dapat melaksanakan tugas dan wewenangnya secara profesional dan proporsional maka niscaya "money politic" dapat diminimalisir sebagai upaya mewujudkan pemilihan umum yang jujur dan adil (Pemilu Jurdil).By : Muhammad Khalid HM
(Alumni Kepmawa Jogjakarta)

TerPopuler