PILKADA WAJO 2024 SEBAGAI TITIK AWAL "BANGKITNYA POLITIK GAGASAN" UNTUK DITERAPKAN PADA PILKADA WAJO DI MASA MASA MENDATANG -->

PILKADA WAJO 2024 SEBAGAI TITIK AWAL "BANGKITNYA POLITIK GAGASAN" UNTUK DITERAPKAN PADA PILKADA WAJO DI MASA MASA MENDATANG

Minggu, 10 Desember 2023, Desember 10, 2023



Oleh : Muhammad Khalid

Kompetisi Pilkada Wajo 2024 diharapkan dapat menjadi titik awal "bangkitnya" politik gagasan (non politik populis) untuk kemudian diterapkan pada Pilkada Wajo di masa masa yang akan datang. Dengan mengusung politik gagasan, maka kompetisi akan menjadi ajang "adu ide ide" sehingga diharapkan dapat mendongkrak jumlah pemilih cerdas dan rasional yang ada di kabupaten Wajo.

Sesungguhnya esensi kompetisi pemilihan kepala daerah merupakan proses pencarian kepemimpinan daerah yang memiliki "big ideas" dalam kerangka mewujudkan kemandirian daerah dan pemberdayaan masyarakat.

Masyarakat (Konstituen) khususnya kaum intelektual selaku representasi pemilih cerdas dan rasional tentulah mengharapkan dan menginginkan kompetisi Pilkada Wajo 2024 menjadi ajang politik gagasan (non politik populis).

Hadirnya politik gagasan sejak dini, diharapkan dapat menghasilkan "pameran ide ide" dan bertransformasi menjadi program atau kegiatan yang terarah dan terukur yang menjadi materi kampanye oleh para calon kandidat untuk kemudian ditawarkan kepada masyarakat sebagai upaya menjawab dan menuntaskan segala macam tantangan dan permasalahan yang ada di kabupaten Wajo.

Sejatinya para tokoh/calon kandidat, baik itu petahana ataupun calon pesaing yang berkeinginan berkompetisi di Pilkada Wajo, mampu menawarkan ide ide dan gagasan yang kreatif, inovatif, dan agresif (progresif) dalam rangka mengakselerasi kemandirian daerah dan pemberdayaan masyarakat Wajo. 

Gagasan dan ide ide brilian tersebut, juga dapat dijadikan sebagai "bank idea" bagi generasi selanjutnya, sebab ide ide dan gagasan tidak mesti dilaksanakan di masa sekarang, namun dapat pula dilaksanakan di masa masa yang akan datang.

Beberapa permasalahan atau persoalan yang ada di kabupaten Wajo membutuhkan solusi terbaik (back up plan) agar segala kebutuhan (dasar) masyarakat khususnya air, listrik, dan jalan dapat terpenuhi sebagaimana layaknya. Permasalahan tanpa solusi terbaik bagaikan "memakan sup menggunakan garpu". Olehnya itu, dibutuhkan tesis program unggul yang terarah dan terukur dari para tokoh atau calon kandidat yang akan berkompetisi di Pilkada Wajo 2024.

Dengan demikian, diharapkan para tokoh/calon kandidat mampu menjawab berbagai permasalahan dan issue yang berkembang di tengah tengah masyarakat. Misalkan ; dalam kerangka mewujudkan kemandirian daerah dan pemberdayaan masyarakat, salah satu upaya yang dapat dilakukan yaitu mengoptimalkan pendapatan daerah (pendapatan asli daerah, dana perimbangan, dan pendapatan daerah lainnya yang sah). 

Para tokoh atau calon kandidat, seyogyanya mampu menawarkan kepada masyarakat Wajo tentang rencana taktis dan rencana strategis guna meningkatkan pendapatan daerah ke depannya tanpa membebani masyarakat.

Dalam dunia pendidikan ; Sekolah seyogyanya menjadi lembaga pengajaran sekaligus menjadi lembaga pendidikan. Tidak hanya menitikberatkan aspek pengembangan pengetahuan (cognitive domain) semata, namun juga harus memperhatikan aspek pembentukan watak, karakter, dan kepribadian (affective domain) dan aspek kecakapan (psychomotoric domain).

Masa depan (Wajo) "tidak akan cerah" jika tidak diperbaiki melalui pembaruan dan pembangunan sektor pendidikan secara besar besaran. Untuk itu diperlukan suatu kebijakan politik yang cukup berani, untuk merubah paradigma pendidikan kita (PPMWI 2006).

Dengan mengusung politik gagasan, diharapkan dapat menjadi "Benchmark" bagi masyarakat (voters) untuk memilih pemimpin yang berkualitas (berintegritas dan berkompeten), sebab satu "suara cerdas" akan menentukan arah pembangunan daerah Wajo ke depannya.

Upaya penerapan politik gagasan pada kompetisi Pilkada Wajo 2024 dan kompetisi Pilkada Wajo di masa masa mendatang haruslah didukung dengan penegakan undang undang pemilu. Karena sesungguhnya demokrasi hanyalah retorika semata jikalau nomokrasi tak menyertainya dan demikian halnya, pemilu Jurdil hanyalah slogan semata jikalau undang undang pemilu tak ditegakkan.

KPU dan Bawaslu Kab. Wajo yang telah diberi wewenang oleh negara selaku pelaksana dan pengawas pemilu, sejatinya mampu "bekerja dan bergerak cepat" secara profesional dan proporsional untuk saling mendukung sebagai satu kesatuan fungsi penyelenggara pemilu dalam rangka menyukseskan pemilu yang demokratis.

Pemilu Jurdil merupakan "entrance" bagi politik gagasan, "musuh besar" politik gagasan adalah money politic. Bukan tanpa dasar, saat ini politik uang sudah menjadi hal yang lumrah di tengah tengah kehidupan masyarakat. Praktik ini telah menjadi konsumsi publik yang begitu familiar di telinga dan selalu menjadi perbincangan hangat di warung warung kopi (trending topik) ketika memasuki tahun politik. 

Manakala tokoh tokoh muncul di "permukaan" sebagai calon kandidat, hal mendasar yang menjadi perbincangan adalah seberapa besar ketersediaan "money" yang dimiliki calon kandidat tersebut. Al hasil nilai nilai integritas maupun kompetensi hanya menjadi "sajian pelengkap" semata bukan lagi menjadi "sajian utama" dalam proses pencarian/penentuan figur kepemimpinan daerah. 

Bukankah integritas dan kompetensi yang mestinya dijadikan "benchmark" dalam memilih pemimpin untuk menjalankan kekuasaan negara !! 

Pencegahan praktik politik uang haruslah menjadi prioritas utama bagi penyelenggara pemilu. Bawaslu Kab. Wajo sebagai garda terdepan pengawal demokrasi, mestinya melakukan kampanye "TOLAK &, LAWAN POLITIK UANG" secara massif dan intensif, misal melalui baliho, spanduk, pamflet, buklet, leaflet, dan stiker dari kota hingga ke pelosok desa ataupun dengan cara cara efektif lainnya. 

Praktik politik uang harus diperangi sebab akan berdampak pada pengambilan kebijakan yang pro terhadap rakyat. Jika polictical costs tinggi, maka policy berkurang dan jika political costs rendah, maka policy bertambah (hipotesis).

Money politic merupakan mesin anti politik sebagai racun demokrasi yang disuguhkan kepada rakyat yang mampu menembus aliran darah rakyat.

Sesungguhnya penyakit demokrasi ini telah memerangi politik gagasan, yang perlahan namun pasti akan menggerus nilai nilai integritas dan kompetensi para pemimpin/wakil rakyat. 

Olehnya itu, negara seyogyanya mampu melakukan tugasnya dan memiliki kemampuan untuk menguasai penyakit demokrasi ini. 

Demikian juga dengan kita, sebagai "motor demokrasi", mestinya tak tinggal diam dan berpangku tangan dalam memerangi penyakit demokrasi ini. 

Ataukah kita sama sekali tak melihat apa apa atau memang tidak mau melihat apa apa???

Money politic bagai "kuda Troya" yang ditancapkan di "jantung negeri" sebagai mesin anti politik, racunnya mengalir melalui pembuluh darah, merusak "otak bangsa" hingga menciptakan "kebodohan granit" secara konstan dan berulang ulang.

Jangan berharap money politic berlalu pergi jika edukasi politik tak massif, money politic berlalu pergi ketika masyarakat sadar politik dan jangan berharap "good & clean government", jikalau money politic membentuknya.

Tanpa penegakan undang undang pemilu oleh penyelenggara pemilu (KPU dan Bawaslu kab. Wajo), maka ekspektasi masyarakat (konstituen) yang "merindukan" pemilu demokratis hanya menjadi harapan hampa belaka. 

Untuk itu sebagai satu kesatuan fungsi dalam penyelenggaran pemilu, KPU dan Bawaslu kab. Wajo mestinya dapat bertindak secara utuh, serasi, dan tidak terpecah belah walaupun secara prinsipil memiliki tugas dan wewenang yang berbeda namun kedua lembaga ini haruslah saling mengisi antara satu dengan lainnya dalam menyelesaikan persoalan yang menyangkut penyelenggaraan pemilu.

Adanya perbedaan pandangan yang berkepanjangan tanpa adanya keputusan akhir (kesepakatan bersama) dapat membuat publik bertanya tanya akan kinerja kedua lembaga tersebut, sehingga dapat memunculkan spekulasi spekulasi negatif seperti adanya egosentris kelembagaan, tudingan "masuk angin" ataupun tudingan tudingan miring lainnya. 

Olehnya itu, KPU dan Bawaslu kab. Wajo sejatinya saling mendukung dan memotivasi dalam menyukseskan pemilu demokratis pada kompetisi Pilkada Wajo 2024 dan kompetisi pemilu di masa masa yang akan datang.

Selain memerangi money politic, netralitas PNS juga patut dijaga oleh Bawaslu kab. Wajo. Bukan tanpa sebab, tahun politik merupakan “masa kritis” dalam menumbuhkan dan mengembalikan kembali kepercayaan (trust) masyarakat selaku pemilih (konstituen). Kubu petahana maupun kubu pesaing akan saling adu strategi guna memenangkan kompetisi Pilkada Wajo 2024 yang akan datang. 

Pada masa inilah, peran oknum PNS yang berpolitik praktis (penulis menggunakan kata oknum karena tindakan yang dilakukan bersifat personal/perorangan bukan atas nama instansi) akan muncul dan “bermain” baik secara terang terangan, diam diam, maupun bermain dua kaki (berada diantara kubu petahana dan kubu pesaing).

Netralitas Pegawai Negeri Sipil (PNS) telah diatur dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 42 Tahun 2004 tentang Pembinaan Korps Jiwa dan Kode Etik Pegawai Negeri Sipil, “PNS dilarang melakukan perbuatan yang mengarah pada keberpihakan salah satu calon atau perbuatan yang mengindikasikan terlibat dalam politik praktis/berafiliasi dengan partai politik”. Ketentuan dan larangan tersebut harus dipatuhi oleh PNS selaku “public servant”. 

Praktik politisasi acap kali ditemukan ketika memasuki tahun politik. Oknum PNS yang berpolitik praktis akan berupaya mempolitisasi setiap bentuk program atau kegiatan yang menyangkut pemenuhan kebutuhan (dasar) masyarakat dengan tujuan penggiringan “voters”. Misalkan menyangkut informasi bantuan atau semacamnya, informasi tersebut tidaklah transparan untuk semua masyarakat yang membutuhkan, namun hanya segelintir orang tertentu saja yang diberitakan. Demikian halnya pada pelayanan publik, pelayanan diprioritaskan bagi orang orang yang sepaham atau di pihak yang sama. Tindakan “berani” berpolitik praktis oknum PNS tersebut, tiada lain bertujuan untuk memenangkan kandidat tertentu.

Kontribusi, partisipasi, dan loyalitas yang tinggi tentu mendapat appreciation yang layak (hubungan pertukaran berdasarkan kontrak politik). Weingrod (1968) menyebut hubungan tersebut sebagai patronage atau adanya hubungan quid pro quo antara partai yang berkuasa dan politik pendukung, di mana pekerja sektor publik digunakan sebagai hadiah dan ditukar dengan dukungan politik.

Partisipasi rakyat dalam menggunakan hak pilih (voters), akan tinggi ketika proses pemilihan umum (pemilu) berjalan sesuai dengan ketentuan hukum dan peraturan perundang undangan yang berlaku.

Namun sebaliknya, bila proses pelaksanaan pemilu tidak berjalan secara demokratis, maka rakyat cenderung bersikap apatis terhadap proses berdemokrasi itu sendiri sehingga dapat memicu munculnya pemilih golongan putih (golput).

Perubahan dapat dimaknai sebagai suatu keadaan atau kondisi untuk menjadi lebih baik dari sebelumnya. Dalam konteks pembangunan daerah, perubahan yang dimaksud adalah pembangunan yang berkelanjutan dan berkesinambungan dalam kerangka mewujudkan kemandirian daerah dan pemberdayaan masyarakat.

Suatu program atau kegiatan yang sudah baik (positif) haruslah dilanjutkan atau dituntaskan (dipertahankan) sebab hal itu esensial bagi masyarakat (pro rakyat) sementara program atau kegiatan yang buruk (negatif) mestilah diperbaiki atau diganti (diabaikan) karena hal tersebut tidak esensial untuk masyarakat (kontra rakyat).

Adalah suatu kekeliruan besar ketika terjadi pergantian kepemimpinan daerah, program atau kegiatan yang pro terhadap rakyat tidak lagi dilanjutkan dan dituntaskan (mandeg) disebabkan adanya faktor kepentingan kelompok/golongan atau pribadi. 

Bukankah kepentingan rakyat diatas segalanya!!

Atas dasar tersebut, calon kandidat Pilkada Wajo 2024 baik itu petahana ataupun pesaing, seyogyanya tetap mempertahankan dan melanjutkan program atau kegiatan yang esensial bagi masyarakat Wajo. 

Dalam menyusun rencana kerja hendaknya para calon kandidat memproyeksikan tesis program atau kegiatan pada pembangunan daerah Wajo yang berkelanjutan dan berkesinambungan.

Yang patut menjadi catatan penting atau penilaian bagi masyarakat Wajo selaku konstituen (voters) adalah sejauh mana program atau kegiatan yang ditawarkan oleh para calon kandidat telah terarah dan terukur (sesuai kebutuhan masyarakat dan kemampuan keuangan daerah).

Kontrak politik pada rakyat mesti dituntaskan dalam kurung waktu lima tahun. Olehnya itu, masyarakat/publik mesti mengkaji dan menganalisis setiap program atau kegiatan yang ditawarkan oleh para calon kandidat sebelum menentukan pilihan politiknya secara cerdas dan rasional.

Perbedaan pilihan politik pada kompetisi pemilu dalam negara demokrasi merupakan hal yang biasa/lumrah. Hak memilih merupakan hak asasi warga negara. Hal ini dipertegas pada Undang Undang No. 30/1999 tentang Hak Asasi Manusia (HAM) yang telah mengatur mengenai hak memilih yang tercantum dalam pasal 43 yang menyatakan ;

"Setiap warga mendapatkan hak pilih dan memilih dalam pemilihan umum berdasarkan persamaan hak melalui pemungutan suara yang langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil sesuai dengan ketentuan peraturan perundang undangan".

Politik merupakan seni kemungkinan (art possible), sesuatu yang mungkin bisa jadi tidak mungkin dan yang tidak mungkin bisa jadi mungkin, dengan demikian dapatlah dikatakan bahwa politik itu dinamis, hari ini jadi kawan, namun esok boleh jadi lawan. Olehnya itu dalam berpolitik hendaknya tidaklah "baperan" dan sesungguhnya "politik perasaan" inilah yang menjadikan daerah sulit untuk maju.

Dalam konteks politik gagasan, para relawan atau tim sukses/tim pemenangan masing masing kandidat, tentunya akan saling mengklaim bahwasanya tesis program kandidat merekalah yang terbaik dalam menyelesaikan segala permasalahan yang ada di daerah. 

Meski demikian, perbedaan itu tak boleh membuat masyarakat menjadi terpecah belah terlebih lagi jika terjadi disintegrasi. Kebebasan berpendapat telah diatur dalam Undang Undang Nomor 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia, pasal 23 ayat (2) ; 

"Setiap orang bebas untuk mempunyai, mengeluarkan, dan menyebarluaskan pendapat sesuai hati nuraninya, secara lisan dan atau tulisan melalui media cetak maupun elektronik dengan memperhatikan nilai nilai agama, kesusilaan, ketertiban, kepentingan umum, dan keutuhan bangsa".

Masyarakat (konstituen) tak perlu menghamburkan energi untuk menanggapi agitasi agitasi murahan yang digerakkan oleh para propagandis propagandis yang tidak bertanggung jawab dengan menyodorkan kebenaran palsu (fake solution) untuk membentuk opini publik. 

Masyarakat mesti bijak dalam memaknai suatu permasalahan atau issue yang berkembang, dengan memahami persoalan secara utuh, tidak sepotong potong. Masyarakat harus mewaspadai kelompok kelompok yang memiliki prinsip "chaos is ladder".

Pertentangan argumentasi atau pandangan terjadi karena adanya perbedaan mindset atau pola pikir yang disebabkan berbedanya jumlah sudut pandang yang dijadikan landasan atau alasan. Prinsip prinsip berdemokrasi seyogyanya dijunjung tinggi. 

Bukankah perbedaan itu tidak untuk disatukan/diseragamkan, tapi untuk dipersatukan !! 

Pertentangan dalam negara demokrasi merupakan hal yang sepatutnya. Perbedaan opini.yang saling bertentangan itu, jika dikelola secara bijak akan menjadi "extraordinary power" dalam upaya menemukan solusi tepat berbagai permasalahan yang ada di daerah. 

Dalam konteks kompetisi pemilu ; petahana vs pesaing, pada umumnya kandidat petahana/incumbent memiliki kans untuk memenangkan suatu kompetisi pemilu lebih besar ketimbang para kandidat pesaingnya. Bukan tanpa dasar, selaku petahana/incumbent, tentunya memiliki kapasitas ataupun authority untuk dapat menggerakkan segala "infrastruktur pemerintahan" untuk semakin meningkatkan popularitas dan elektabilitasnya.

Dalam proses perjalanan kepemimpinan (incumbent), segala capaian kinerja positif ataupun kegiatan sosial kemasyarakatan akan disebarkan luaskan ke publik melalui kamera maupun media sosial oleh para buzzernya. Namun sebaliknya, jika program atau kegiatan (janji politik) yang capaiannya belum maksimal atau tidak terealisasi, maka sudah dapat diterka hal ini akan minim publikasi (low transparency).

Strategi ini tiada lain bertujuan untuk mendapatkan dukungan politik dari rakyat agar "rapor" kinerja pemerintahan (incumbent) selama masa kepemimpinannya dianggap berhasil dalam meningkatkan taraf hidup masyarakat.

Kamuflase capaian kinerja berpengaruh terhadap pencapaian tujuan politik selanjutnya. Untuk mengkamuflase kebijakan negatif tergantung pada strategi politik yang diterapkan dalam mengelola suatu issue yang berkembang ditengah tengah masyarakat.

Ketika hal hal yang menyangkut kebijakan positif dapat diramu lalu dikemas sedemikian rupa, maka kebijakan kebijakan negatif dapat dikaburkan (camouflage) sehingga publik tidak dapat melakukan penilaian secara objektif terhadap capaian kinerja pemerintahan (petahana).

Olehnya itu, para kandidat pesaing, mestinya jeli dalam meredam upaya upaya tersebut dengan melakukan strategi politik yang efektif untuk mendorong keterbukaan informasi yang menyangkut implementasi program kerja secara akuntabel.

Refleksi tahunan kinerja pemerintah daerah (Pemda) merupakan gambaran secara utuh sejauh mana capaian (progress) kinerja pemerintahan dalam setiap tahunnya terhadap perwujudan visi misi pemerintah daerah yang tertuang dalam program kerja jangka pendek maupun program kerja jangka panjang. 

Kegiatan refleksi tahunan bukan hanya sekedar kegiatan seremonial (eksistensi) belaka, sebagai bentuk rasa syukur atas keberlangsungan pemerintahan (kepemimpinan), namun sejatinya dapat dijadikan momentum evaluasi dan monitoring terhadap capaian kinerja Pemda yang merupakan esensi dari kegiatan refleksi tahunan tersebut.

Transparansi capaian pelaksanaan kegiatan maupun program oleh Pemda dalam setiap tahunnya merupakan bentuk pertanggung jawaban moral pemerintah terhadap masyarakat (konstituen) atas janji politik (kontrak politik) semasa kampanye terdahulu.

Oleh sebab itu, dalam pelaksanaan pengelolaan sumber daya, pemerintah berkewajiban melaporkan dan mengungkapkan segala aktifitas dan kegiatan yang berkaitan dengan sumber daya publik kepada masyarakat selaku pemberi mandat (akuntabilitas).

Hal ini sesuai dengan amanat Undang Undang No. 23 Tahun 2014 Tentang Pemerintah Daerah, "bahwa kepala daerah wajib menyampaikan laporan penyelenggaraan pemerintah daerah baik kepada pemerintah pusat, DPRD, maupun kepada masyarakat dalam setiap tahunnya.

Dibutuhkan keterbukaan informasi yang seluas luasnya terhadap capaian (progress) kinerja Pemda dalam setiap tahunnya. Baik itu kegiatan atau program yang sudah terlaksana, yang belum maksimal, ataupun yang tidak terealisasi agar masyarakat (publik) dapat menjadikan dasar/landasan dalam memonitoring, mengevaluasi, dan melakukan penilaian secara objektif.

Dengan akuntabilitas dan transparansi, akan memberi ruang bagi masyarakat (publik) untuk memunculkan dan mengungkapkan kritik konstruktif sebagai bentuk partisipasi dan sebagai upaya bersama dalam mengoptimalkan segala program maupun kegiatan yang telah dicanangkan oleh pemerintah guna mewujudkan pembangunan yang berkelanjutan dan berkesinambungan.

Publik pun dapat melakukan penilaian terhadap capaian kinerja pemerintahan (incumbent) selama masa pemerintahannya. Apakah capaian kinerja dalam kategori berhasil (kebijakan positif), ataukah dalam kategori stagnan (mandeg), dan ataukah dalam kategori gagal (kebijakan negatif).

Untuk kemudian memberi masukan atau kritik konstruktif terhadap pemerintahnya sebagai bentuk partisipasi mereka dalam membangun daerahnya.

Olehnya itu, keberadaan kritik konstruktif sangat dibutuhkan guna menjaga potensi potensi positif yang ada (critical thinking). Adalah suatu keniscayaan melakukan perubahan lebih baik dari sebelumnya ketika semangat kritis tidak terbangun.  

Jika suatu daerah dalam kondisi "adem ayem" tanpa adanya hiruk pikuk pemenuhan kebutuhan (dasar) masyarakat, maka dapat di justifikasi bahwa telah terjadi "pembungkaman potensi" sehingga perkembangan pembangunan daerah cenderung stagnan akibat potensi itu tidak dapat dikembangkan dan dikelola secara efektif dan efisien.

Kritik konstruktif pada dasarnya mengingatkan penguasa bahwasanya kondisi rakyat jelata sedang tidak baik baik saja dan sebagai penyampaian aspirasi terhadap penguasa atas kebijakan yang tidak pro rakyat.

Resistensi terhadap suatu produk regulasi terjadi akibat adanya pemenuhan hak-kebebasan dan kewajiban-tanggung jawab antara pemerintah dengan rakyatnya yang tidak berimbang.

Kajian dan analisis yang tepat sangat penting dilakukan untuk mencari titik temu guna menemukan solusi terbaik agar pemenuhan kepentingan kedua belah pihak (pemerintah dan masyarakat) dapat terakomodir secara adil.

Kritik konstruktif penting sebagai upaya pencapaian pembangunan daerah secara optimal sehingga pemerintah dan masyarakatnya dapat berkembang secara bersama sama (berkolerasi positif) menuju kemandirian daerah dan pemberdayaan masyarakat.

Olehnya itu, pemerintah daerah selaku wakil rakyat dalam menjalankan kekuasaan negara seyogyanya memberi ruang bagi masyarakat (publik) untuk ikut andil dalam proses pembangunan daerah yang berkelanjutan dan berkesinambungan.

Tesis program yang dituangkan melalui program kerja yang dijadikan janji janji kampanye oleh para kontestan Pilkada Wajo 2024 pada dasarnya mengatas namakan "kepentingan rakyat". Bukan tanpa sebab, program atau kegiatan yang pro terhadap rakyat tentunya akan mendapat banyak simpatik dari masyarakat Wajo selaku konstituen (voters).

Oleh sebab itu, demi mewujudkan janji janji kampanye yang menjadi kontrak politik antara kontestan pilkada terpilih dengan masyarakat, maka sejatinya parpol pengusung dan pendukung yang kalah pada kompetisi Pilkada Wajo 2024 dapat berbesar hati untuk menjadi oposisi agar tercipta konfigurasi politik yang demokratis di parlemen (DPRD Wajo). Dengan konfigurasi politik yang demokratis, maka dapat menghasilkan pemerintahan yang berkarakter responsif, aspiratif, dan agresif (demokratis). Pemerintahan tidak berkarakter konservatif, ortodoks, ataupun elitis (otoriter).

Parpol pengusung dan pendukung yang kalah tidaklah kemudian bergabung menjadi bagian dari koalisi pemerintahan yang terpilih karena adanya faktor kepentingan kelompok/golongan.

Bukankah dalam membangun daerah tidak mesti menjadi bagian dari koalisi pemerintahan !!

Menjadi parpol oposisi di parlemen (DPRD WAJO), juga dapat berkontribusi positif pada pembangunan daerah Wajo dengan cara memberi masukan atau kritik konstruktif terhadap pemkab Wajo di saat kebijakan (policy) yang dikeluarkan tidak pro terhadap masyarakat. Selain itu, juga dapat mengawal sejauh mana implementasi kontrak politik (program kerja) yang mesti dituntaskan oleh pemerintahan terpilih dalam kurung waktu lima tahun sebagai bentuk pertanggung jawaban pemerintah terhadap masyarakat.

Adanya kompromistis akan melemahkan tujuan kolektif rakyat. Bukan tanpa dasar, ketika parpol pengusung dan pendukung yang kalah lalu kemudian bergabung menjadi bagian dari koalisi pemerintahan, maka dapat diasumsikan bahwa telah terjadi kompromi politik, dalam hal ini berbagi kepentingan kelompok/golongan dengan alasan untuk menciptakan stabilitas politik. Adanya kesepakatan politik antar parpol (quid pro quo) akan menggerus kepentingan rakyat.

Dengan demikian, masyarakat Wajo dapat menilai partai politik mana saja yang dengan "tulus" mengedepankan kepentingan rakyat dibanding dengan kepentingan kelompok untuk kemudian dijadikan tolok ukur dalam menentukan pilihan politik pada kompetisi pemilu (Pileg dan Pilkada Wajo) pada periode periode berikutnya.(**)

TerPopuler