RADAR SULSEL.CO.ID, WAJO - Kontestasi pemilihan umum (pemilu) merupakan pesta demokrasi lima tahunan dalam proses pencarian kepemimpinan nasional/daerah yang memiliki "big ideas" yang mencakup pemilihan presiden (pilpres), pemilihan kepala daerah (pilkada), dan pemilihan legislatif (pileg).
Kontestan pemilu lazimnya terdiri dari petahana dan pesaing. Istilah petahana pertama kali diperkenalkan oleh Salomo Simanungkalit pada pemilu presiden 2009. Kata petahana biasa juga disebut dalam bahasa Inggris sebagai incumbent yang diartikan dengan " Yang sedang memegang atau memangku suatu posisi atau jabatan, orang yang memegang suatu jabatan" sementara pesaing menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah lawan dalam bersaing.
Kepemimpinan (pemerintahan) dengan prestasi/predikat baik merupakan ekspektasi setiap pemimpin/wakil rakyat yang masih menduduki "singgasana" pemerintahan. Bukan tanpa alasan, kepemimpinan yang masih berjalan lima tahun (satu periode) akan berpeluang terpilih kembali untuk menjabat/melanjutkan kepemimpinan pada periode berikutnya.
Hal ini sesuai dengan amanat Undang Undang Dasar Tahun 1945 (UUD 1945) yang mengatur periodisasi masa jabatan presiden yakni selama 5 tahun dan sesudahnya dapat dipilih kembali dalam jabatan yang sama hanya untuk satu kali masa jabatan. Masa jabatan demikian berlaku juga bagi kepala daerah yang dipertegas dalam Undang Undang Nomor 22 Tahun 1999 Tentang Pemerintahan Daerah, Undang Undang Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah, dan Undang Undang Nomor 23 Tahun 2014 Tentang Pemerintahan Daerah.
Sebagai petahana tentu memiliki kans untuk menang lebih besar dibanding dengan pesaingnya. Bukan tanpa dasar, selaku petahana (yang sedang memegang jabatan), memiliki kapasitas maupun kewenangan untuk dapat menggerakkan segala "infrastruktur pemerintahan" untuk semakin meningkatkan popularitas dan elektabilitasnya.
Oleh karenanya, setiap petahana dengan segala upaya akan mengoptimalkan capaian kinerja pemerintahan (kebijakan positif) dalam merealisasikan program kerja (kontrak politik) yang belum maksimal maupun yang belum terlaksana di sisa masa jabatannya untuk mendapatkan kembali kepercayaan (trust) dari rakyat pada kontestasi pemilu berikutnya.
Dalam proses perjalanan suatu pemerintahan (kepemimpinan), segala capaian kinerja positif ataupun kegiatan sosial kemasyarakatan (seremonial) akan disebarluaskan ke masyarakat (publik) melalui kamera untuk meliput karyanya maupun melalui media sosial oleh para "buzzer"nya (politik pencitraan).
Strategi ini tiada lain bertujuan untuk semakin mempopulerkan pribadi dari petahana itu sendiri dalam rangka mendapatkan dukungan politik dari rakyat agar "rapor" kinerja pemerintahan selama masa jabatan kepemimpinannya dianggap mampu dan berhasil dalam meningkatkan taraf hidup (kesejahteraan) rakyatnya.
Namun sebaliknya, jika program kerja (janji politik) belum maksimal ataupun belum terlaksana maka sudah dapat diterka hal ini akan minim publikasi (low transparency). Kondisi demikian semakin diperkuat ketika autokritik dalam pemerintahan hanya "berdiam diri" tak mampu berbuat apa apa sehingga kondisi negara/daerah seolah olah akan nampak "baik baik saja".
Kamuflase capaian kinerja berpengaruh terhadap pencapaian tujuan politik selanjutnya. Untuk mengkamuflase kebijakan negatif bergantung pada strategi politik yang diterapkan dalam mengelola suatu issue krusial yang berkembang di tengah masyarakat, misal dengan melakukan "drama politik" untuk pengalihan issue yang menyangkut "kegagalan" dalam pemenuhan kebutuhan dasar masyarakat ataupun melakukan "manipulasi data" yang kontradiktif dengan fakta sesungguhnya.
Ketika hal hal yang menyangkut kebijakan positif dapat diramu lalu dikemas sedemikian rupa maka segala kebijakan negatif dapat dikaburkan (camouflage) sehingga masyarakat (awam) tidak dapat melakukan penilaian secara objektif terhadap kinerja pemerintahan yang berimplikasi pada terlaksananya kontestasi pemilu yang tidak berkeadilan.
Olehnya itu, setiap pesaing mestinya jeli dalam "meredam" upaya upaya tersebut (kamuflase capaian kinerja) dengan melakukan strategi politik yang efektif guna mendorong keterbukaan informasi yang menyangkut implementasi program kerja (kontrak politik) secara akuntabel.
Dengan akuntabilitas, maka segala aktivitas dan kegiatan yang berkaitan dengan penggunaan sumber daya publik akan diungkapkan dan dilaporkan oleh pemerintah kepada masyarakat selaku pemberi mandat (Undang Undang Nomor 23 Tahun 2014 Tentang Pemerintah Daerah) sehingga praktis kontestasi pemilu akan berjalan secara "fair".
Dengan demikian rakyat (publik) dapat melakukan penilaian terhadap capaian kinerja pemerintahan (petahana) selama masa kepemimpinannya. Apakah capaian kinerja dalam kategori berhasil (kebijakan positif), ataukah capaian kinerja dalam kategori stagnan (kebijakan mandek), dan ataukah capaian kinerja dalam kategori gagal (kebijakan negatif), sehingga rakyat dapat menjadikan penilaian capaian kinerja tersebut sebagai "benchmark" dalam menentukan hak pilihnya pada kontestasi pemilihan umum.
By : Muhammad Khalid HM
(Alumni Kepmawa Jogjakarta)